JAKARTA - Penutupan tahun ini menghadirkan kontras tajam di pasar keuangan global.
Di satu sisi, emas dan perak tampil sebagai aset dengan performa paling bersinar, mencetak rekor harga berulang kali. Di sisi lain, aset kripto seperti bitcoin justru tertinggal dan gagal mengikuti euforia reli yang terjadi pada logam mulia.
Perbedaan kinerja tersebut memicu diskusi luas di kalangan investor. Banyak pelaku pasar mulai membandingkan kembali peran emas, perak, dan kripto sebagai instrumen lindung nilai. Momentum akhir tahun pun dimanfaatkan untuk menilai ulang strategi investasi masing-masing aset.
Lonjakan harga emas dan perak tidak terjadi secara tiba-tiba. Faktor permintaan global, kondisi ekonomi makro, serta kekhawatiran terhadap stabilitas keuangan mendorong minat investor kembali ke logam mulia. Sementara itu, kripto menghadapi tekanan harga yang berlarut-larut sepanjang tahun berjalan.
Reli Kuat Logam Mulia Sepanjang Tahun
Pada Jumat, 26 Desember 2025, kontrak berjangka emas menembus level 4.550 dolar AS dan bertahan di sekitar rekor tertinggi sepanjang masa. Pencapaian ini menutup satu tahun yang luar biasa, di mana emas mencatatkan lebih dari 50 rekor harga baru. Kinerja tersebut mempertegas posisi emas sebagai aset unggulan sepanjang tahun.
Tidak hanya emas, perak juga mencatatkan lonjakan signifikan. Harga perak melampaui 75 dolar AS per ons, sekaligus memperpanjang kenaikan year-to-date hingga sekitar 150 persen. Reli ini disebut bersifat parabolik dan mencerminkan tekanan pasokan fisik yang semakin ketat.
Permintaan industri yang tetap kuat turut memperkuat harga perak. Di tengah transisi energi dan kebutuhan teknologi, logam ini menjadi salah satu komoditas yang paling diburu. Kondisi tersebut membuat harga perak terus melesat hingga menorehkan rekor baru.
Selain emas dan perak, logam lain seperti platinum dan tembaga juga mencatatkan rekor harga baru sepanjang tahun. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sektor logam mulia dan logam industri sama-sama menikmati sentimen positif di pasar global.
Perbandingan Tajam dengan Kinerja Aset Kripto
Kinerja gemilang logam mulia terlihat kontras dengan pasar kripto. Bitcoin tercatat turun sekitar 6 persen sepanjang tahun berjalan. Ether bahkan berada di jalur penurunan tahunan sekitar 12 persen, mencerminkan tekanan yang cukup dalam pada aset digital.
Perbedaan ini memicu perbandingan langsung antara logam mulia dan kripto. Sejumlah investor menilai emas dan perak lebih mampu bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi. Volatilitas yang lebih rendah menjadi salah satu keunggulan utama logam mulia dibandingkan kripto.
Pendiri Navellier & Associates, Louis Navellier, menilai momentum pasar kini jelas berpihak pada emas. Menurutnya, emas telah naik hampir 70 persen pada 2025, sementara sebagian besar mata uang kripto justru berada di zona negatif.
“Dengan emas kini naik hampir 70% pada 2025 dan sebagian besar mata uang kripto berada di zona negatif, waktunya telah tiba bagi para pelaku kripto untuk beralih ke emas,” ujarnya, dikutip dari Yahoo Finance. Ia juga menyoroti peran pembelian bank sentral dan likuiditas pasar emas yang dinilai lebih stabil.
Kritik Terbuka terhadap Performa Bitcoin
Kritik terhadap bitcoin semakin menguat seiring reli logam mulia. Investor emas lama sekaligus pengkritik kripto, Peter Schiff, turut menyuarakan pandangannya. Melalui platform X, Schiff mempertanyakan daya tarik bitcoin di tengah berbagai reli aset lain.
“Jika Bitcoin tidak naik ketika saham teknologi naik, dan tidak naik ketika emas dan perak naik, lalu kapan ia akan naik? Jawabannya: tidak akan,” tulis Schiff. Pernyataan tersebut mencerminkan skeptisisme terhadap kemampuan bitcoin sebagai aset lindung nilai.
Kenaikan emas dan perak ke level tertinggi sepanjang masa terjadi ketika kripto justru menutup tahun di zona negatif. Bitcoin bahkan berupaya menghindari bulan penurunan ketiga berturut-turut, kondisi yang tergolong jarang dalam sejarah perdagangannya.
Untuk pertama kalinya sejak 2014, bitcoin juga bergerak menyimpang dari pasar saham. Hal ini terjadi meskipun lingkungan regulasi dinilai lebih kondusif dan adopsi kripto di Wall Street terus meningkat sepanjang tahun.
Tekanan Jangka Pendek dan Prospek Bitcoin
Harga bitcoin masih kesulitan pulih setelah aksi jual oleh pemegang jangka panjang. Likuidasi paksa turut mendorong harga turun sekitar 30 persen dari puncaknya. Dari rekor tertinggi mendekati 126.000 dolar AS pada Oktober, bitcoin merosot ke level sedikit di atas 87.000 dolar AS pada 26 Desember.
Kepala aset digital Fundstrat, Sean Farrell, mengatakan pergerakan harga bitcoin yang relatif sempit belakangan ini bukanlah hal mengejutkan. Ia menilai kondisi tersebut lazim terjadi menjelang akhir tahun.
“Reli Santa biasanya ditandai dengan investor menjual aset yang merugi dan membeli aset yang berkinerja baik menjelang akhir tahun,” ujar Farrell. Ia menambahkan bahwa banyak investor enggan mengambil risiko besar pada aset yang berkinerja buruk dalam beberapa bulan terakhir.
Meski demikian, Farrell tetap melihat peluang pemantulan harga pada Januari. Menurutnya, sejarah menunjukkan Januari cenderung mencatatkan kinerja positif apabila Desember ditutup di zona merah. Penutupan negatif selama tiga bulan berturut-turut sendiri tercatat hanya terjadi sekitar 15 kali sepanjang sejarah bitcoin.
Pandangan hati-hati juga datang dari 10X Research. Lembaga riset kripto tersebut menyebut kondisi saat ini bisa menjadi momen awal pemulihan yang lebih berkelanjutan. Syarat seperti koreksi 30 persen, penurunan selama 2,5 bulan, dan reset indikator teknikal dinilai telah terpenuhi.
Namun, sejumlah strategis Wall Street memilih menurunkan target harga bitcoin. Standard Chartered memangkas target harga akhir tahun menjadi 100 ribu dolar AS dari sebelumnya 200 ribu dolar AS. Target 2026 juga direvisi turun menjadi 150 ribu dolar AS.
Perbedaan arah ini menegaskan bahwa emas dan perak menutup tahun dengan reli kuat, sementara bitcoin masih berada di bawah tekanan menjelang pergantian tahun.