JAKARTA - Peta mutu pendidikan menengah nasional kini mendapatkan gambaran yang lebih jelas setelah pemerintah merilis hasil Tes Kemampuan Akademik 2025. Instrumen baru ini dirancang bukan sekadar sebagai evaluasi, melainkan sebagai dasar pengambilan kebijakan pendidikan yang lebih terarah.
Tes Kemampuan Akademik atau TKA menjadi langkah strategis Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dalam membaca capaian riil peserta didik. Melalui TKA, pemerintah berupaya memotret kekuatan sekaligus tantangan pendidikan menengah secara nasional.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah secara resmi mengumumkan hasil Tes Kemampuan Akademik untuk jenjang SMA, MA, dan SMK pada tahun 2025. Pengumuman ini menandai babak baru dalam sistem pemetaan akademik peserta didik di Indonesia.
Pelaksanaan TKA 2025 diikuti oleh lebih dari 3,47 juta murid dari total populasi 4,19 juta murid terdaftar. Tingkat partisipasi nasional tercatat mencapai 84,02 persen, menunjukkan respons yang cukup tinggi dari satuan pendidikan.
Selain partisipasi, tingkat kehadiran murid yang mengikuti TKA juga terbilang sangat tinggi. Data menunjukkan sebanyak 98,56 persen murid yang terdaftar benar-benar hadir dan mengikuti tes.
Sementara itu, tingkat keikutsertaan satuan pendidikan mencapai 98,96 persen dari total sekolah yang mendaftar. Angka ini mencerminkan kesiapan institusi pendidikan dalam mendukung kebijakan evaluasi nasional.
Partisipasi Satuan Pendidikan dan Sebaran Wilayah
Berdasarkan jenis satuan pendidikan, SMA mencatat tingkat partisipasi tertinggi dengan persentase pendaftaran sebesar 96,82 persen. Capaian ini disusul oleh SMK dengan 93,43 persen dan MA sebesar 86,92 persen.
TKA juga berfungsi sebagai uji kesetaraan bagi jalur pendidikan nonformal. Dalam konteks ini, partisipasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat tercatat sebesar 63,22 persen.
Sementara itu, pondok pesantren mencatat tingkat keikutsertaan sebesar 34,84 persen. Data ini menunjukkan masih adanya tantangan dalam menjangkau seluruh jalur pendidikan alternatif.
Dari sisi wilayah, Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat tingkat partisipasi tertinggi secara nasional. Provinsi ini mencapai angka 95,22 persen dalam keikutsertaan TKA.
DKI Jakarta menyusul di posisi kedua dengan tingkat partisipasi sebesar 94,85 persen. Gorontalo berada di posisi berikutnya dengan partisipasi mencapai 92,24 persen.
Sebaliknya, Papua Pegunungan mencatat tingkat partisipasi terendah secara nasional. Wilayah ini hanya mencapai angka 52,40 persen, menunjukkan adanya kesenjangan akses dan kesiapan.
Perbedaan partisipasi antarwilayah menjadi catatan penting bagi pemerintah. Data ini akan digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan afirmatif ke depan.
Kendala Teknis dan Pelanggaran Selama Pelaksanaan
Kemendikdasmen mencatat bahwa pelaksanaan TKA 2025 tidak sepenuhnya berjalan tanpa hambatan. Sejumlah kendala teknis muncul selama proses berlangsung.
Pemadaman listrik akibat cuaca ekstrem menjadi salah satu tantangan utama. Gangguan jaringan internet juga turut memengaruhi kelancaran pelaksanaan di beberapa daerah.
Selain kendala teknis, Kemendikdasmen juga mencatat adanya serangan siber. Upaya tersebut berhasil diantisipasi agar tidak berdampak pada hasil tes secara keseluruhan.
Di sisi lain, muncul anggapan dari sebagian peserta bahwa tingkat kesulitan soal terlalu tinggi. Beberapa murid juga menilai materi yang diujikan belum sepenuhnya diajarkan di sekolah.
Menanggapi hal tersebut, Inspektorat Jenderal Kemendikdasmen melakukan evaluasi menyeluruh. Hasilnya, teridentifikasi sedikitnya 11 jenis pelanggaran selama pelaksanaan TKA.
Pelanggaran tersebut melibatkan berbagai pihak, mulai dari murid, pengawas, hingga teknisi. Seluruh laporan yang masuk langsung ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
Pelanggar yang terbukti bersalah dikenai sanksi sesuai Keputusan Mendikdasmen Nomor 95 Tahun 2025. Langkah ini diambil untuk menjaga integritas dan kredibilitas pelaksanaan TKA.
Meskipun sempat beredar isu kebocoran soal, Kemendikdasmen menegaskan bahwa hasil TKA tidak terpengaruh. Analisis perbandingan antar gelombang menunjukkan tidak ada pola kecurangan sistematis.
Perbandingan antara peserta gelombang pertama dan kedua menunjukkan hasil yang konsisten. Termasuk pada mata pelajaran Biologi, tidak ditemukan lonjakan jawaban benar yang mencurigakan.
Capaian Nilai Nasional dan Perbandingan Provinsi
Secara nasional, rerata nilai mata pelajaran wajib menunjukkan tantangan yang masih perlu diperhatikan. Bahasa Indonesia mencatat rerata nilai sebesar 55,38.
Untuk Matematika, rerata nilai nasional berada di angka 36,10. Sementara itu, Bahasa Inggris mencatat rerata nilai paling rendah dengan 24,93.
Capaian ini menandakan perlunya penguatan literasi, numerasi, dan penguasaan bahasa asing. Pemerintah menilai hasil ini sebagai refleksi kondisi riil pendidikan menengah.
Jika ditinjau berdasarkan provinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mencatatkan hasil terbaik. Provinsi ini mencatat rerata tertinggi pada ketiga mata pelajaran wajib.
Rerata nilai Bahasa Indonesia di DI Yogyakarta mencapai 65,89. Untuk Matematika, rerata nilainya sebesar 43,09, sementara Bahasa Inggris mencapai 30,00.
Sebaliknya, sejumlah provinsi di kawasan timur Indonesia masih mencatatkan rerata nilai di bawah rata-rata nasional. Kondisi ini menjadi perhatian serius dalam pemerataan mutu pendidikan.
Kemendikdasmen juga mencatat bahwa secara umum capaian SMA berada di atas MA dan SMK. Pola ini terlihat konsisten di seluruh mata pelajaran wajib.
Namun terdapat temuan menarik pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Rerata nilai Paket C tercatat lebih tinggi dibandingkan MA dan SMK.
Temuan ini menunjukkan bahwa jalur pendidikan nonformal memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan. Data tersebut menjadi bahan evaluasi dalam pengembangan kebijakan ke depan.
Metodologi Penilaian dan Pemanfaatan Hasil TKA
Dalam pengolahan nilai, TKA menggunakan metode Item Response Theory model dua parameter logistik. Metode ini mempertimbangkan tingkat kesulitan dan daya beda soal.
Pendekatan ini dinilai lebih adil dibandingkan metode penskoran klasik. Dengan IRT, kemampuan peserta dapat dibedakan secara lebih presisi dan objektif.
Kemendikdasmen menilai metode ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Hasil yang diperoleh tidak hanya mencerminkan jumlah jawaban benar, tetapi juga kualitas respons peserta.
Hasil TKA akan disampaikan kepada murid melalui satuan pendidikan masing-masing. Setiap murid akan menerima Sertifikat Hasil TKA sebagai dokumen resmi.
Sertifikat tersebut telah dilengkapi dengan tanda tangan elektronik dan kode verifikasi QR. Sistem ini dirancang untuk menjamin keaslian dan kemudahan verifikasi.
Ke depan, Kemendikdasmen menilai TKA dapat dimanfaatkan sebagai dasar pemetaan capaian akademik antarwilayah. Dengan cakupan di atas 95 persen populasi SMA, data ini dinilai sangat representatif.
Pemanfaatan hasil TKA juga diarahkan untuk perumusan kebijakan peningkatan mutu pendidikan nasional. Pemerintah berharap kebijakan yang dihasilkan lebih berbasis data dan kebutuhan nyata.
Melalui TKA, arah pembangunan pendidikan diharapkan menjadi lebih terukur dan berkeadilan. Instrumen ini menjadi fondasi penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.